Otoinfo – MotoGP merayakan ulang tahunnya yang ke-75 pada 2024, dan sejak musim Grand Prix perdana pada tahun 1949, banyak momen besar yang telah membentuk kejuaraan dunia ini. Salah satunya adalah peristiwa bersejarah 20 tahun lalu, tepatnya pada tahun 2004, ketika Valentino Rossi meraih gelar juara dunia keempatnya di kelas utama.
Saat itu, Rossi sudah menjadi bintang balap motor internasional. Setelah memenangkan gelar juara terakhir di era 500cc pada tahun 2001 bersama Honda hanya dalam musim keduanya, Rossi memulai era MotoGP empat tak dengan Honda RC211V. Pada tahun 2002, Rossi tampil dominan dengan 11 kemenangan dan satu kali finis kedua, serta hanya gagal finis satu kali. Ia melaju menuju gelar kedua di kelas utama, kemudian menambah gelar ketiganya dengan cara yang tak kalah impresif pada tahun 2003 dengan sembilan kemenangan.
Namun, di balik kehebatan Rossi, ada ketegangan dengan pihak Honda. HRC (Honda Racing Corporation) menilai keberhasilan Rossi lebih karena keunggulan motor RC211V, bukan semata-mata kejeniusan pembalap. Hal ini menambah ketegangan yang akhirnya mendorong manajer Rossi, Davide Brivio, untuk membuka komunikasi dengan Yamaha.
Kesepakatan antara Rossi dan Yamaha tercapai pada 2004, meskipun Honda tidak memberikan kemudahan. Rossi yang terikat kontrak dengan HRC tidak dapat melakukan tes dengan Yamaha YZR-M1 hingga awal tahun 2004. Di sisi lain, Yamaha juga memiliki tantangan internal terkait keputusan merekrut Rossi. Beberapa pihak merasa bahwa jika Rossi datang dan tidak menang, itu akan mencoreng citra Yamaha, sementara yang lain merasa Yamaha tidak membutuhkan Rossi karena mereka yakin bisa menang dengan motor yang tepat dan pembalap mana pun.
Pada saat itu, Yamaha belum meraih gelar sejak 1992 dengan Wayne Rainey di era 500cc. Bahkan pada tahun 2003, mereka hanya meraih dua kemenangan Grand Prix dan berada jauh di belakang Rossi. Namun, bergabungnya Rossi bersama Yamaha membawa perubahan besar. Kepala kru Rossi, Jeremy Burgess, yang berpengalaman dengan Honda RC211V, berhasil mengidentifikasi kekurangan pada M1 dan memberikan solusi. Masao Furusawa, kepala teknis Yamaha, merancang mesin empat silinder segaris yang lebih bertenaga, sementara Burgess mengoptimalkan ukuran motor dan perangkat elektronik untuk meningkatkan pengereman dan kemampuan menikung.
Pada putaran pertama musim 2004 di Afrika Selatan, Yamaha dan Rossi langsung menunjukkan dominasinya. Rossi meraih kemenangan mengejutkan di depan para pembalap Honda, termasuk Max Biaggi, yang saat itu membalap dengan Honda Pons. Rossi menutup musim 2004 dengan delapan kemenangan tambahan dan meraih gelar juara dengan satu balapan tersisa di Australia, menjadi pembalap pertama sejak Eddie Lawson pada 1989 yang meraih gelar juara berturut-turut dengan rute berlawanan (Lawson pindah dari Yamaha ke Honda untuk meraih gelar tersebut).
Pada tahun 2005, dominasi Rossi dan Yamaha semakin tak terbendung. Ia meraih 11 kemenangan dan mengalahkan Marco Melandri dari Honda dengan selisih 147 poin. M1, yang semula diragukan, kini menjadi motor yang harus dikalahkan di MotoGP. Namun, menurut Brivio, keberhasilan Rossi dan Yamaha juga membuktikan bahwa motor yang hebat tidak akan berarti tanpa pembalap yang luar biasa.
Bergabungnya Rossi dengan Yamaha pada tahun 2004 memberikan pelajaran berharga bahwa motor dan pembalap harus berkolaborasi untuk meraih sukses. Keputusan itu mengubah mentalitas di Yamaha, mengarah pada penerimaan bahwa pembalap yang hebat akan membawa motor hebat menuju kemenangan. Tanpa Rossi, Yamaha mungkin akan lebih lama menciptakan motor yang cukup kompetitif.
Kemitraan Rossi dan Yamaha berlanjut dengan kesuksesan di tahun-tahun berikutnya, meraih dua gelar lagi pada 2008 dan 2009. Rossi juga kembali ke Yamaha pada 2013 dan hampir meraih gelar kelima pada tahun 2015. Meskipun pada tahun-tahun terakhirnya kemenangannya berkurang, legacy Rossi tetap tercatat dengan gemilang. Tanpa kepindahan luar biasa Rossi ke Yamaha 20 tahun lalu, sejarah MotoGP mungkin akan berbeda.